GELOMBANG reformasi yang bergulir
sebelas tahun lalu, memang mengusung setumpuk agenda yang siap ditancapkan
untuk membangun kembali Indonesia menjadi negeri yang kokoh atau tidak bopeng.
Tak salah, jika agenda reformasi yang digulirkan oleh rakyat itu pun menuntut
perubahan di segala bidang, tidak hanya sekedar suksesi kepemimpinan melainkan
juga tuntutan perubahan di bidang ekonomi, hukum bahkan politik —tidak
terkecuali reformasi sistem ketatanegaraan. Salah satu tuntutan reformasi
sistem tata negara adalah perubahan/amandemen UUD 1945. Untuk memenuhi tuntutan
itu (selama waktu 1999-2002), UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali.
Tahap-tahap perubahan itu tak bisa ditepis; cermin tuntutan reformasi akan
perubahan cara pandang, nilai dan prinsip dalam memecahkan persoalan dan
mengantisipasi kebutuhan bangsa dan negara Indonesia di masa depan.
Di sisi lain, latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 itu, di era Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga bisa menimbulkan multitafsir), dan kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Buku Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi karya H Subandi Al Marsudi bisa dijadikan sebagai referensi dalam menelusuri perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap UUD 45. Di sisi lain, penulis mengupas keberadaan Pancasila. Sayang, di buku ini, penulis tak mengupas sejarah Pancasila yang sempat menimbulkan perdebatan sengit semisal Piagam Jakarta, sidang Majelis Konstituante yang menjadikan Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli dan Indonesia kembali ke UUD 1945. Di sisi lain, penulis tidak menyoroti Pancasila di era reformasi yang kerap dijadikan kambing hitam, akibat kekuasaan Orba menafsirkan Pancasila dan membatasi tafsir lain yang berbeda. Adapun satu hal yang baru dari buku ini adalah penjelasan yang detail seputar tahap-tahap amandemen UUD 1945. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara RI. UUD 1945 pun memiliki sejarah panjang. Disahkan sebagai UUD negara oleh PPKI 18 Agustus 1945, UUD 45 sempat digantikan dengan UUD lain sebab 27 Desember 1949 Indonesia memberlakukan Konstitusi RIS dan 17 Agustus 1950 memakai UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 pun diberlakukan lagi. Sejak reformasi bergulir, selama 1999-2002, UUD 1945 sudah mengalami 4 kali perubahan (amandemen). Ada beberapa perbedaan sebelum dan sesudah amandemen. Sebelum amandemen UUD 1945 terdiri Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Di sisi lain, latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 itu, di era Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga bisa menimbulkan multitafsir), dan kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Buku Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi karya H Subandi Al Marsudi bisa dijadikan sebagai referensi dalam menelusuri perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap UUD 45. Di sisi lain, penulis mengupas keberadaan Pancasila. Sayang, di buku ini, penulis tak mengupas sejarah Pancasila yang sempat menimbulkan perdebatan sengit semisal Piagam Jakarta, sidang Majelis Konstituante yang menjadikan Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli dan Indonesia kembali ke UUD 1945. Di sisi lain, penulis tidak menyoroti Pancasila di era reformasi yang kerap dijadikan kambing hitam, akibat kekuasaan Orba menafsirkan Pancasila dan membatasi tafsir lain yang berbeda. Adapun satu hal yang baru dari buku ini adalah penjelasan yang detail seputar tahap-tahap amandemen UUD 1945. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara RI. UUD 1945 pun memiliki sejarah panjang. Disahkan sebagai UUD negara oleh PPKI 18 Agustus 1945, UUD 45 sempat digantikan dengan UUD lain sebab 27 Desember 1949 Indonesia memberlakukan Konstitusi RIS dan 17 Agustus 1950 memakai UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 pun diberlakukan lagi. Sejak reformasi bergulir, selama 1999-2002, UUD 1945 sudah mengalami 4 kali perubahan (amandemen). Ada beberapa perbedaan sebelum dan sesudah amandemen. Sebelum amandemen UUD 1945 terdiri Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah 4 kali perubahan, UUD 1945
mencakup; 20 bab, 73 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, serta 2 pasal
Aturan Tambahan. Juga, penjelasan UUD 45 telah ditiadakan (diadakan pencabutan
secara diam-diam/implicit), lahirnya lembaga-lembaga baru seperti DPD (lihat
Bab VIIA pasal 22C dan 22D) Komisi Yudisial (Pasal 24B), Mahkamah Konstitusi
(lihat Pasal 24C) dan dihapusnya lembaga lama, yakni DPA (Bab IV). Selain itu,
perbedaan lain setelah diamandemen adalah berkurangnya kekuasaan dan wewenang
(juga berubahnya) kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yakni tidak lagi
tak terbatas, tidak lagi menetapkan GBHN (Pasal 3 ayat (1), tidak lagi memilih
Presiden dan Wakil Presiden (lihat Pasal 6A ayat (1),). Dengan kata lain, MPR menjadi
lembaga negara biasa.
Tuntutan reformasi 98 adalah adanya perubahan UUD 1945. Tujuan perubahan itu menyempurnakan aturan dasar, seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, dan hal-hal lain yang sesuai perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Tuntutan reformasi 98 adalah adanya perubahan UUD 1945. Tujuan perubahan itu menyempurnakan aturan dasar, seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, dan hal-hal lain yang sesuai perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 itu, tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat
structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. Perubahan
yang telah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali (sejak tahun 1999-2002) terhadap
UUD 1945, tak bisa disangkal telah mewarnai kehidupan ketatanegaraan. Dari
hasil amandemen UUD 1945 itu, setidaknya telah membawa implikasi perubahan yang
cukup signifikan terhadap sistem perpolitikan Indonesia. Tapi, jika dikritisi
secara komprehensif, amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR itu dapat dikata
belum sepenuhnya jadi problem solving penyelesaian masalah ketatanegaraan
bangsa Indonesia selama kurang lebih enam dasawarsa di bawah UUD 1945 sebelum
amandemen. Selain itu, amandemen UUD 1945 masih jauh dari semangat reformasi
Mei 1998, yakni semangat membangun negeri Indonesia ke arah kehidupan
ketatanegaraan yang demokratis dan semangat untuk menata kelembagaan negara
serta hubungan antar-lembaga negara yang sesuai dengan prinsip saling
mengontrol. Meski amandemen sudah memberikan warna lain, tapi masih belum
memenuhi tuntutan rakyat secara terang benderang. Ada tiga faktor yang menjadi
penyebab kenapa hasil amandemen UUD 1945 masih belum memberikan titik terang
benderang.
Pertama, MPR yang menjadi
satu-satunya institusi negara yang mendapat mandat rakyat dan memiliki
kewenangan melakukan amandemen UUD 1945 sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, tetapi
dalam melakukan amandemen UUD 45 tak punya paradigma perubahan dan kerangka
kerja (framework) yang jelas, sehingga menjadikan hasil amandemen UUD 1945
parsial, tak komprehensif, memenuhi pesanan kekuasaan, berdasarkan keadaan dan
kebutuhan. Pendek kata, amandemen hanya sepotong-sepotong atau tidak lebih
tambal sulam.
Kedua, adanya tarik-menarik dan
tawar-menawar (bargaining politic) elit politik. Ketiga, aspirasi rakyat yang
nyaris tak mendapat wadah, karena minimnya keikutsertaan rakyat dalam proses
amandemen UUD 1945. MPR tak maksimal dan sungguh-sungguh memberi ruang pada
rakyat untuk berpartisipasi dalam proses amandemen. Perjaringan aspirasi rakyat
hanya formalitas guna memenuhi mekanisme dan prosedur. Padahal, hal ini jadi
bagian penting dalam proses amandemen UUD 45 terutama dalam membangun sense of
belonging dan keyakinan rakyat pada hukum dasarnya. UUD 1945 sudah diamandemen
4 kali. Tetapi, berbagai problem ketatanegaraan muncul satu per satu mewarnai
ketatanegaraan Indonesia. Tak salah, jika agenda untuk melakukan amandamen
kelima tidak lagi sebagai hal tabu.
Nur Mursidi, blogger buku terbaik dalam Pesta Buku Jakarta 2008 pancasila. Selain sebagai dasar Negara, Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan dalam menjalani hidup. Dalam konsepsi dasar itu terkandung gagasan dan pikiran tentang kehidupan yang dianggap baik dan benar bagi bangsa Indonesia yang bersifat majemuk.
Nur Mursidi, blogger buku terbaik dalam Pesta Buku Jakarta 2008 pancasila. Selain sebagai dasar Negara, Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan dalam menjalani hidup. Dalam konsepsi dasar itu terkandung gagasan dan pikiran tentang kehidupan yang dianggap baik dan benar bagi bangsa Indonesia yang bersifat majemuk.
Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa sebenarnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya milik bangsa
Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya. Pancasila digali
dari budaya bangsa sendiri yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang berabad-abad
lamanya. Oleh karna itu, Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak
keberadaannya sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama
yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan, dan agama-agama yang ada di
Indonesia. Dengan demikian, Pancasila sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa
dan kepribadian bangsa Indonesia.
Sebagai pandangan hidup bangsa,
Pancasila juga berperan sebagai pedoman dan penuntun dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, ia menjadi sebuah
ukuran/kriteria umum yang diterima dan berlaku untuk semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar